Dalam artikel tersebut dikatakan ada beberapa alternatif yang sanggup dilakukan dalam upaya mengatasi duduk perkara di atas. Yang pertama ialah memadatkan bahan ajar, yakni menyisipkan bahan gres di sela-sela bahan lama, tanpa menambah jam pelajaran. Alternatif pertama ini telah dilakukan pada kurikulum nasional kita.
Alternatif kedua ialah menggeser bahan asuh ke bawah, yakni mengajarkan sejumlah bahan lebih awal, untuk menunjukkan kawasan bagi bahan baru. Ini pun telah dilakukan oleh sejumlah sekolah di negara kita. Membaca, menulis, dan berhitung, misalnya, kini ini rupanya sudah diperkenalkan semenjak di taman kanak-kanak (Kompas, 12 Juli 1997).
Menambah jumlah jam pelajaran di sekolah, sehingga bahan gres sanggup diajarkan tanpa menggangu jadwal pelajaran bahan lama, merupakan alternatif ketiga. Sejumlah sekolah negeri unggulan dan sekolah swasta yang tergolong ‘top’ di negara kita menentukan alternatif ketiga ini dengan menunjukkan banyak sekali mata pelajaran pelengkap kepada muridnya, menyerupai bahasa Inggris dan pengenalan komputer (Kompas, 19 Juli 1997).
Dalam alternatif pertama, kedua, ataupun ketiga, bahan asuh tampak lebih diutamakan, sementara proses belajar-mengajar cenderung terabaikan. Bila kita renungkan dengan bijak, ketiga alternatif ini sebetulnya tidak mengatasi duduk perkara tadi, malah hanya menambah beban murid dan juga guru. Orangtua murid pun turut mencicipi beban anaknya yang semakin berat, banyak di antara mereka yang mengeluh perihal hal ini.
Untuk mengatasi duduk perkara di atas, kita seharusnya melirik alternatif lain yang mungkin sanggup dilakukan tanpa menambah beban murid dan guru. Pepatah usang menyampaikan bahwa murid berilmu bukan alasannya diajar tetapi alasannya belajar. Oleh alasannya itu, kiprah utama seorang guru seharusnya bukan mengajar tetapi membuat muridnya belajar.
Menyadari hal ini, menggantikan pengajaran gaya usang yang lebih menekankan pada penyampaian bahan (transfer of knowledge) dengan pengajaran gaya gres yang lebih menekankan pada upaya membuat murid berguru (pembelajaran), merupakan alternatif keempat, yang jauh lebih baik daripada ketiga alternatif sebelumnya.
Dalam upaya membuat murid belajar, seorang guru harus memperhatikan gaya berguru (learning style) muridnya, yakni bagaimana muridnya (mau) berguru mempelajari sesuatu. Menurut Kolb (1984), murid berguru dalam 4 (empat) gaya. Gaya berguru pertama ialah mempertanyakan mengapa sesuatu harus dipelajari (why). Guru yang menghadapi murid dengan gaya berguru pertama ini haruslah seorang pendorong (motivator).
Gaya berguru kedua ialah mempertanyakan apa yang sedang atau akan dipelajari (what). Dalam menangani murid dengan gaya berguru kedua ini, seorang guru tentunya harus tahu banyak (expert).
Murid yang bahagia mempelajari bagaimana sesuatu bekerja (how) termasuk murid yang mempunyai gaya berguru ketiga. Murid demikian harus dibimbing oleh seorang guru yang sanggup berperan sebagai instruktur (coach).
Gaya berguru keempat ialah mempelajari apa yang terjadi apabila sesuatu diterapkan pada situasi konkrit tertentu (what if). Dalam hal ini seorang guru lebih baik menyingkir jauh-jauh dan menjadi pengamat saja (observer), memagarkan murid yang mempunyai gaya berguru keempat ini berguru sendiri.
Dengan demikian, untuk mengajar sekian murid dalam satu kelas, dengan banyak sekali gaya berguru di atas, diharapkan seorang guru yang pendorong, tahu banyak, pelatih, dan sekaligus pengamat yang baik. Guru menyerupai itu ialah seorang fasilitator bagi muridnya dalam belajar. Satu aspek saja tidak dipenuhi oleh si guru, sejumlah murid akan menjadi bosan dan kemudian tidak belajar.
Lalu bagaimana dengan bahan asuh yang kian bertambah banyak itu? Dibandingkan dengan proses bagaimana murid belajar, bahan asuh menjadi tidak terlalu penting. Setidaknya ada dua alasan untuk itu.
Yang pertama, tidak mungkin seorang guru sanggup mengajarkan seluruh bahan yang kian bertambah banyak dalam waktu yang terbatas. Matematika, misalnya, yang telah berusia ribuan tahun dan masih berkembang dengan pesat hingga kini ini, tidak mungkin diajarkan seluruhnya kepada seorang murid dalam waktu 23 tahun (dari taman kanak-kanak hingga kegiatan doktor).
Yang kedua, seorang pakar sekalipun tidak akan pernah tuntas menguasai bahan dalam bidangnya, senantiasa ada sesuatu yang perlu dipelajari (lagi) alasannya lupa atau belum tahu. Jadi, yang lebih penting ialah proses bagaimana mempelajari suatu materi, bukannya bahan yang sedang dipelajari.
Seorang murid yang telah sanggup menyebarkan gaya berguru yang dimilikinya (paling anggun jikalau ia mempunyai keempat-empatnya) akan berguru sendiri dan sanggup memutuskan sendiri bahan apa yang perlu dipelajarinya. Bila ini terjadi, kiprah seorang guru ---yakni membuat muridnya belajar--- sanggup dikatakan selesai.
Hendra Gunawan, Lahir di Bandung pada tahun 1964, ialah seorang matematikawan. Beliau menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung semenjak tahun 1988 dan menerima gelar doktor dalam bidang Matematika dari University of New South Wales Sydney, pada tahun 1992. Selain sering menulis di media massa, dia juga mengasuh beberapa blog untuk memopulerkan matematika dan sains, antara lain indonesia2045.com | anakbertanya.com | bersains.wordpress.com | bermatematika.net/
Update: Beberapa waktu kemudian Bapak Hendra Gunawan diwawantriki setrik pribadi oleh Jawa Pos TV dalam kegiatan "Bermatematika Bersama Guru Besar Matematika ITB". Mari kita simak hasil wawantriknya setrik langsung;
Suka matematika tapi tidak kenal dengan Bapak Hendra Gunawan kurang seru, yuk mengenal salah satu matematikawan Indonesia melalui video berikut;
0 Response to "Materi Bimbing Versus Proses Belajar"
Post a Comment