Demikian salah satu isi dalam jumpa pers yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan [Mendikbud], Anies Baswedan, di kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat [23/1/2015]. “Kementerian menyadari, kita tidak sanggup menilai mutu layanan pendidikan semata-mata dari satu indikator. UN hanya satu dari sekian banyak indikator dalam standar nasional pendidikan. Dalam konteks penilaian hasil belajar, UN bukan hanya satu-satunya, tetapi satu dari banyak indikator untuk menilai kinerja layanan pendidikan,” tutur Mendikbud di hadapan para awak media.
Ia menjelaskan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional, siswa gotong royong berhak mengetahui capaian kompetensinya dan negara berkewajiban memenuhi hak itu. “Jadi pengukuran capaian standar kompetensi lulusan yaitu tugas negara untuk memenuhi hak akseptor didik,” tambahnya.
Mendikbud mengatakan, UN seharusnya memberi imbas positif bagi siswa, guru, dan komunitas pendidikan yang lebih luas lagi. Namun, kenyataan di lapangan justru menjadikan sikap negatif, menyerupai terjadinya kecurangan, siswa mengalami stress, dan lain-lain. “Mengapa ini terjadi? Karena sifat ujiannya itu high-stake testing. Nah, kita ingin mengubahnya,” ucap Mendikbud.
Maka, upaya perbaikan yang dilakukan yaitu dengan memperbaiki mutu pendidikan melalui banyak sekali alat pengukuran yang bukan hanya UN, memperlihatkan otonomi pada sekolah dan mengurangi tekanan yang tidak perlu, dengan trik memisahkan ujian nasional dari kelulusan. “Kita juga ingin memperbaiki sistem penilaian menjadi lebih bermakna, dan mendorong pembelajaran serta integritas,” kata Mendikbud.
Dari upaya perbaikan itu, Mendikbud memaparkan rencana perubahan yang akan terjadi pada UN tahun ini. Pertama, UN tidak untuk kelulusan. Sekolah sepenuhnya diberikan kewenangan mempertimbangkan seluruh aspek dari proses pembelajaran, termasuk komponen sikap siswa untuk memilih lulus tidaknya mereka dari jenjang pendidikan tertentu.
Kedua, UN sanggup ditempuh lebih dari sekali. “Bagi mereka yang alhasil kurang, punya kesempatan memperbaiki dan mengambil ujian ulang. Karena tujuan UN kan bukan menjadi hakim, tapi alat pembelajaran. Kita ingin mengubah UN dari sekadar alat menilai hasil belajar, tetapi alat untuk belajar,” tandanya.
Ketiga, UN wajib diambil minimal satu kali oleh setiap akseptor didik. “Tahun ini kita tidak menyelenggarakan ujian ulang, alasannya 2015 ini transisi. Konsep ini akan diterapkan tahun depan. Bagaimana triknya? Awal semester final akseptor didik sudah sanggup mengambil UN. Dan jika diharapkan ada perbaikan, maka mereka sanggup melaksanakan perbaikan di final semester akhir. Tapi ini gres sanggup diterapkan di 2016,” ungkap Mendikbud. [Ratih Anbarini] [http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/3742]
Pesan Bapak Anies Baswedan saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sangat menginspirasi untuk para guru;
0 Response to "Kebijakan Un Diubah Untuk Kuatkan Tujuan Dan Fungsi Un"
Post a Comment