Alasan utama goresan pena ini saya share alasannya yaitu video yang di upload oleh TEDxTalks di youtube pada tanggal 25 Maret 2012 hingga goresan pena ini di publikasikan hanya di tonton 91.741 kali padahal apa yang disampaikan di video itu sangat bagus. Kita bandingkan dengan video Wawantrik Saskia Gotik dan Vicky Prasetyo yang sok menggunakan bahasa intelek, hingga goresan pena ini di publikasikan video yang berumur kurang lebih 4 bulan sudah ditonton 3.538.829 kali, perbedaan yang sangat-sangat signifikan.
Agar pesan Sujiwo Tejo pada video diatas hingga kepada Anda, sehingga apa yang disampaikan dia saya coba tuangkan dalam bentuk tulisan. Banyak hal yang disampaikan Sujiwo Tejo ihwal matematika pada video tersebut meskipun hanya dalam waktu 20 menit, padahal sebagai seorang guru memberikan matematika dalam waktu 2 x 45 menit hanya sedikit yang tersampaikan. Cara memberikan dengan santai dan ringan menjadi ciri dari video ini kalau Anda saksikan eksklusif di youtube dengan judul "TEDxBandung - Sujiwo Tejo - Math: Finding Harmony In Chaos". Mari kita simak apa yang disampaikan Sujiwo Tejo setrik tertulis dan 'Saya/Aku' pada goresan pena ini yaitu Sujiwo Tejo.
Saya minta maaf alasannya yaitu tidak pakai, apa itu namanya? [slide persentase], dimana-mana saya tidak bisa alasannya yaitu saya gagap teknologi benar. Saya, TEDx saja gres dengar seminggu yang lalu, ohhh TEDx,... serius bukan saya mau menghina tapi alasannya yaitu memang saya tidak tahu. Ketika temanku bilang pokoknya uda 2 bulan yang kemudian diundang TEDx, saya bilang ya udah mumpung di Bandung, bahagia saya Bandung. Tau-tau kemarin begitu ngbrol sama orang-orang TEDx ternyata TEDx itu "sesuatu". Banyak yang saya sepelekan jadi, banyak bangat dalam hidupku, dulu Gus Dur waktu maju juga saya sepelekan di depan publik "ala Gus.. Gus.. ga mungkin jadi, jadi presiden ternyata"
Aku ditugasi yang agak berat, alasannya yaitu uda paling siang dan disuruh ngomong soal matematik. Baiklah saya mungkin akan awali bahwa Indonesia kurang maju alasannya yaitu matematika-nya rendah. Pendidikan saya di matematika, saya dua jurusan dan teknik sipil, dua-duanya tidak selesai. Karena bagi saya orang yang selesai kuliah itu orang yang meneruskan sejarah tapi orang yang DO itu orang yang menjebol sejarah
Problemnya begitu kita dengar matematika, kita selalu membayangkan hitung-hitungan, satu tambah satu. Padahal matematika bukan about itu, matematika ihwal logika kita, ihwal konsistensi budi kita.
Tidak ada Pelajaran yang terbaik untuk melatih budi kita, konsisten, kecuali matematik.
Kaprikornus didalam Bahasa saya, didalam benak saya, Bahasa Indonesia itu ga ada cuma Bahasa Inggris, Bahasa Madura, Bahasa Perancis, Bahasa Aborigin, tapi juga ada Bahasa matematika. Tapi di matematika tambah itu pakai “$+$” kurang itu pakai “$-$“ sama dengan itu pakai “$=$” sama saja ada gramatikalnya sendiri. Ini jarang sekali ditanamkan ke publik semenjak dini atau semenjak belum dewasa bahwa matematika yaitu about language, seandainya itu ditanamkan semenjak SD dengan guru matematika, meskinya di SD itu profesor kalau di Jepang profesor-profesor doktor nya justru mengajar tingkat rendah alasannya yaitu untuk dasar. Diajarkan bahwa yang penting itu tingkat dasarnya, kalau diajarkan bahwa matematika itu logika, kita tidak akan menyerupai yang kini ini.
Karena budi kita konsisten, misalkan konsisten, saya termasuk orang yang menolak pemakaian helm. Debat sama orang-orang hebat hukum, saya bilang kenapa harus pakai helm? Supaya kalau jatuh kemungkinan tidak mati, kemungkinannya tidak geger otak. Aku bilang memang kalau hidup Negara kasih kerjaan, memang kalau hidup negara kasih pelayanan kesehatan. Kecuali kalau polisi bisa nyetop, ehh.. stop kalian tidak pakai helm, pemerintah tiap tahun sudah invest ke you tiap orang 2 milyard per orang termasuk penyediaan lapangan kerja, ini saudara menyia-nyiakan, masuk penjara.
Itu logika-logika matematika saya alasannya yaitu apa matematika selalu dikesankan bahwa matematika ilmu kepastian, itu salah dan itu hanyalah orang yang tidak mengerti. Aku aib klo ada teman, sahabat bersahabat yang ngomong kayak gitu. Matematika ketidakpastian, tetapi matematika ihwal kesepakatan.
$1 + 1 = 2$ siapa bilang pasti, kalau kita bitrik dalam konteks bilangan persepuluhan, iya. Tetapi dalam bilangan biner, $1 + 1$ tidak $2$.
Kita setuju dengan Pancasila, setuju kan, trus setuju bahwa bumi, tanah dan seisinya dikuasai oleh Negara bagi kemakmuran, udah setuju itu. Tetapi dari Freeport kita cuma sanggup 1%, gimana gitu matematikanya. Kaprikornus matematika about logika, kalau seluruh masyarakat Indonesia diajar matematika setrik benar.
Saya menerima pengertian matematika setrik benar ketika saya kuliah di ITB Matematik, dari Bapak Dr Hutahean, mudah-mudahan Tuhan ngasih berkat ke beliau. Dibuka mata saya, oh ini matematik, dari situ saya tahu kekerabatan matematika sama musik. Kalau matematik kita benar, banyak penyair, Rendra matematika nya jelek, Toni Prabowo pemusik matematikanya buruk padahal berdasarkan saya seseorang yang musiknya manis matematikanya harus manis alasannya yaitu berhubungan.
Kalau seseorang matematikanya manis niscaya dia sastranya bagus. Tapi ternyata banyak teman-teman sastrawan yang matematikanya tidak bagus, berarti matematika diajarkan setrik salah oleh kurikulum.
Karena di dalam matematika, kita selalu menemukan bahasa-bahasa baru, yang nantinya Kita sanggup menemukan, contohnya dimensi-n, padahal dalam bayangan kita, di dalam benak kita, yang ada yaitu maksimal dimensi tiga [x-y-z], semua benda dilukiskan dalam itu. Tidak terbayang ada dimensi lebih dari 4, ada dimensi-n. Tapi itu ditemukan dalam rumus-rumus matematika diturunkan, diutak-atik oleh keisengan hingga ketemu dimensi-n. Ternyata bisa diterapkan di astronomi kemudian, ternyata kata orang-orang astronom di matahari ketika gravitasi bisa menarik cahaya disitu, teman-teman dari fisika bisa lebih menjelaskan, disitu ada banyak dimensi. Kaprikornus ada kadang kala kata-kata diciptakan duluan, kata-kata matematika, kemudian teknologi mengejarnya. Zaman saya di tehnik sipil, matematika sanggup membantu insinyur sipil menghitung kekuatan kolom di semua titik. Begitu komputer keluar, dihitung bisa lebih efektif.
Begitu juga penyair, diutak-atik, diutak-atik, penyair mengutak-atik kata-kata…
Aku bawakan mayatku padamu, tapi kau bilang hanya
Aku bawakan cintaku padamu, tapi kau bilang masih
Aku bawakan arwahku padamu, tapi kau bilang hanya
Tanpa apa saya tiba padamu
Dalam Bahasa kita, gimana kita membawa arwah kita? Gimana kita membawa mayatku padamu tapi masih kau bilang, sajaknya Sutardji.
Bedanya didalam puisi, itu hanya ada dalam penghayatan kita, oh dengan membaca itu ketika saya tiba ke kekasihku saya dengan penghayatan lain.
Kaprikornus kalimat puisi membentuk dunia gres begitu juga kalimat matematika. Ketika Ridwan Kamil menyampaikan sama teman-teman yang lain menyampaikan atau Panji, “jangan mengharapkan perubahan tapi ciptakanlah perubahan” bagi saya itu kalimat matematik yang lahir dari utak-atik, utak-atik, utak-atik lahir kalimat itu. Lalu kita menghipnotis diri kita, menyihir diri kita untuk mewujudkan kalimat itu.
Kalimat-kalimatku misalkan di twitter saya sering ngomong, itu saya utak-atik dari permainan kayak matematik di kepala.
Kalau tidak salah ada 1000 persamaan, misalkan $a + b = c$ kemudian $a$ diuraikan, $a$ ternyata $d + f$ berarti $d + f + b = c$, kemudian $c$ diuraikan matematik kan terus, terus dan seterusnya . . . kemudian ketemu $e = mc^{2}$ [intinya gitu koq].
Semuanya dari matematik, itu di puisi, apa yang ada di matematik? Matematik itu konsistensi, kalau kau berguru matematik.
Sebetulnyakan penurunan-penurunan dalil phytagoras . . . $sin^{2} \alpha +cos^{2} \alpha =1$
kalau kalian turunkan itukan dari lama, dari segitiga siku-siku trus diturunkan bahwasanya kan pada dasarnya $a + b = c$, misalkan katakanlah menyerupai itu, $a$ nanti diurai, oh $a$ itu ternyata dari pengalaman sama dengan $e + g$, dimasukkan, terus . . . tiba-tiba kita hingga takjub sendiri, loh koq ternyata jadi menyerupai ini.
Itulah keindahan matematika, ga kayak keindahan puisi kalau kata Bentrand Russel itu keindahan puisi itu meledak-ledak.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan instruksi yang tak pernah disampaikan awan kepada hujan Yang menjadikannya tiada.
Keindahan matematik itu indah; tapi hambar indahnya; tapi indah. Seperti orang dicium membisu aja, itu matematik.
Matematika yaitu kemampuan menangkap contoh dari sesuatu yang semula tidak terpola. Itulah kemampuan matematika yang harus ditanamkan
Melihat kemacetan yang seakan-akan semraut tapi ternyata ada polanya. Orang matematika akan melihat oh pada jam 6 pagi dan jam . . . akan dibuat konsep-konsep himpunan untuk meyelesaikan masalah.
Batik ada berapa coba? Parang kusumo, bendo rusa, batik pagi-sore pekalongan, trus batik kawung, banyak bangat di Indonesia, tapi sahabat saya matematika menjadikannya cuman ada enam contoh batik. Kaprikornus kemampuan menangkap contoh dari sesuatu yang tidak terpola.
Ketika saya bilang cinta tak perlu pengorbanan
itu yaitu kata-kata baru, kata-kata matematik yang gres dari aku, alasannya yaitu apa? Aku udah atik, atik, utak-atik, utak-atik di kepala dan tidak tahu berapa prosesing yang terjadi. Sama kayak penurunan rumus.
Cinta tidak perlu pengorbanan pada ketika kau merasa berkorban pada ketika itu cintamu mulai pudar. Sementara pada masa usang cinta yaitu pengorbanan, tugasku kini yaitu mewujudkan didalam diriku bahwa cinta tidak perlu pengorbanan. Begitu kau merasa berkorban, omong kosong cintamu. Sehingga ketika kalian hujan-hujan ke pacarmu gak merasa berkorban, wong cinta koq, yang ada pengorbanan kalkulasi.
Aku pingin cinta insan ga ada hitung-hitungan, suatu hari, minimal saya didalam diriku sendiri. Makanya yang saya terapkan kepada anakkku, ini persoalan matematika, kalau suatu hari bapak Tanya kenapa kau cinta sama pacarmu dan dia bisa jawab, berarti itu bukan cinta. Itu kalkulasi, cinta tidak ada karena-karena.
Hiburanku kalau menonton orang yang tertangkap, orang narkoba yang tertangkap di TV, hiburan ku yaitu melihat perempuannya yang tetap setia, itu cinta, mau narkoba mau dibela itu cinta.
Di dalam pemikiran matematik semua hal punya dasar Mari kita berpikir matematis, matematik tidak sebagai hitung-hitungan, tapi matematik sebagai bahasa alasannya yaitu itu menghipnotis budi kita. Matematika erat kaitannya sama lagu, erat kaitannya sama puisi. Aku oke Matematika yaitu orkestrasi dari seluruh konsep. Konsep arsitektur, konsep mesin, teknik mesin, konsep seni rupa, digabung jadi satu dalam konsep matematika.
Matematika yaitu orkestrasi dari seluruh konsep
sementara
musik yaitu matematika yang berbunyi
Yang terakhir yaitu Inti dari matematika yaitu mencari persamaan. Tidak ada pelajaran matematika ihwal pertidaksamaan; itu hanya pengecualian. Maka dalam kehidupan sehari-hari ada Gereja, ada Mesjid, ada Sunda dan lain-lain sebagainya kenapa kita selalu mencari perbedaan.
0 Response to "Matematika Dari Kacamata Sujiwo Tejo"
Post a Comment