Iwan Pranoto: Seputar Abjad Pendidikan

Sebutan ”binaragawan berotot” pastinya tak perlu. Tentu saja seorang binaragawan harus berotot. Jika tidak berotot menonjol, yang bersangkutan mungkin orang yang gagal menjadi binaragawan.

Demikian pula istilah ”pendidikan karakter” juga tak perlu. Ini istilah yang redundant atau berlebihan. Pendidikan di mana saja sejatinya memperhatikan pertumbuhan huruf muridnya. Ini tentu saja. Seperti tak pernah ada istilah ”binaragawan tak berotot”, demikian pula tak pernah ada istilah ”pendidikan bukan karakter”. Pendidikan yang baik sudah niscaya menekankan pertumbuhan huruf anak didik.

SIFAT BAIK

Seperti diketahui, pakar pendidikan belum satu kata dengan apa yang disebut ”pendidikan karakter”, tetapi mereka umumnya setuju bahwa ini upaya sengaja dari keluarga, masyarakat, dan sekolah untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak berdasar nilai-nilai universal. Karena itu, kini lebih perlu merancang jadwal pendidikan yang secara sistematis menyokong pertumbuhan huruf pelajar. Karakter yang mana dan huruf versi siapa? Penetapan huruf ini yang akan membedakan jadwal pendidikan tiap negara dan membedakannya dengan kurun terdahulu.

Karakter atau sifat baik warga menyerupai apa yang diharapkan negara perlu dikaji dengan saksama, dirembukkan, dan didaftar. Lalu karakter-karakter tersebut dipilih yang sesuai jenjang pendidikan. Kemudian dirancang jadwal pendidikan dengan taktik pemupukan pertumbuhannya. Ringkasnya, seharusnya fokus pembahasan lebih perlu pada huruf pendidikan ketimbang pendidikan karakter.

Daftar huruf tadi perlu dirumuskan dengan bahasa lugas dan gamblang, bermakna tunggal, sekaligus dengan frasa yang operasional. Rumusan huruf yang tidak operasional hanya akan membuat guru kesulitan mendesain pembelajaran, dan karenanya pembelajaran tidak akan berfungsi secara sistematis dan terstruktur.

Rumusan huruf juga perlu yang masuk akal sehingga memang masuk budi sanggup dicapai para murid. Yang tak kalah penting, rumusan huruf harus universal, tak condong pada keyakinan atau kesukuan tertentu. Ini faktor penting yang akan memastikan penerimaannya di masyarakat. Karakter terdiri dari banyak virtue atau sifat baik. Guna pengkajian, sifat-sifat baik itu sanggup dikelompokkan sedikitnya ke dalam empat kategori yang bergotong-royong tak saling lepas, yakni: moral, prestasi, kewarganegaraan, dan intelektualitas.

Dalam kategori moral: kejujuran, integritas, toleran, dan sebagainya. Dalam kategori prestasi contohnya: kegigihan, percaya diri, motivasi, dan sebagainya. Dalam kategori kewarganegaraan: kebernegaraan, keberbangsaan, kebertetanggaan, kebersamaan, dan sebagainya. Dalam kategori intelektualitas contohnya: keingintahuan, kesadaran diri, fokus, dan sebagainya.
Dari sifat-sifat baik yang dipilih dan ditetapkan itu kemudian penentu kebijakan pendidikan membuat rumusan yang operasional dan sanggup ditindaki. Rumusan operasional berupa frasa dengan kata kerja akan membantu guru dan perancang pembelajaran mendesain pengalaman mencar ilmu bermakna dan sistematis bagi murid. Tak kalah penting, rumusan yang operasional akan memudahkan guru menyusun perangkat pengukuran pencapaian murid dan memungkinkan pihak pengawas mengaudit proses pembelajaran supaya sempurna sasaran.

Sebagai ilustrasi, sifat baik kebernegaraan diterjemahkan ke ragam rumusan konkret dan membumi, menyerupai menafsirkan makna dasar negara, melindungi akomodasi publik, menjaga bangunan warisan bangsa menyerupai candi, melestarikan hutan dan sungai, menghargai dan membela keberagaman budaya bangsa, dan sebagainya. Dari frasa operasional menyerupai itu, sekolah atau penentu kebijakan menurunkannya menjadi rumusan keterampilan atau kecakapan. Rangkaian kecakapan ini yang sanggup diberlatihkan dan nantinya sanggup dievaluasi.

BERTUMBUH

Dari rumusan operasional tadi, pembelajaran kemudian dirancang melalui mata pelajaran yang sudah ada, menyerupai Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pengenalan Ilmu Komputer, dan lainnya. Tak perlu membuat mata pelajaran khusus gres atau jam pelajaran tambahan.

Sejarah mencatat, upaya menyuburkan pertumbuhan sifat baik menyerupai patriotisme atau cinta tanah air kurang efektif melalui slogan, spanduk, lokakarya, atau ceramah. Pelajar perlu bernalar sendiri, mencicipi sendiri, dan merenungkan sendiri. Hal ini dengan sempurna diungkapkan Soe Hok Gie, ”Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya sanggup menyayangi sesuatu secara sehat jikalau ia mengenal obyeknya. Dan menyayangi tanah air Indonesia sanggup ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”

Karakter atau sifat baik bukan menyerupai pil asing yang sanggup ditelan langsung, kemudian murid seketika berkarakter baik. Karakter juga bukan peranti lunak yang sanggup dibeli dan diunduh dari toko daring kemudian di-install ke benak murid. Karakter justru berupa benih yang sudah hidup di diri masing-masing orang. Karena itu, huruf tak diajarkan, tak pula diserap. Pendidikan berfungsi membuka semua pintu peluang dan membuat iklim mendukung supaya benih baik tumbuh subur. Karena itu, guru bersama sekolah perlu mengenali setiap peluang dan mengupayakan semua pemberian supaya tiap murid sanggup menumbuhkan huruf baik yang diangankan bersama.

Agar berhasil, taktik pembelajaran harus sesederhana, sealamiah, dan semasuk budi mungkin. Misalnya, guna membuka peluang perkembangan sifat toleran dan sifat baik lain dalam pelajaran Bahasa Inggris sanggup dimulai dengan role playing atau menayangkan film pendek menggambarkan situasi seorang anak Indonesia yang gres masuk sekolah di negara berbahasa Inggris. Kemudian setelahnya, para pelajar berdiskusi guna menyelami situasi sang anak tersebut, juga perasaan murid lainnya. Bagaimana perasaan anak di lingkungan gres dengan bahasa Inggris itu? Bagaimana cara anak itu mempunyai sahabat baru? Bagaimana anak itu sanggup mengikuti pelajaran di sekolah baru? Bagaimana teman-teman di kelas sanggup membantu anak tak berbahasa Inggris itu sanggup menyesuaikan diri lebih mudah?

Dengan pendekatan semacam ini, sifat toleran, menghargai lian, kebersamaan, setia kawan, dan lainnya akan secara alami terangkat, tanpa perlu dikhotbahkan atau diposterkan. Pendekatan menyerupai ini juga menekankan prinsip utama bahwa huruf atau sifat baik merupakan benih yang sudah ada di diri masing-masing pelajar, bukan diimpor.

Karakter sanggup bertumbuh melalui acara di mana saja, tak terbatas hanya di institusi pendidikan formal. Sebagai ilustrasi, acara di alam bebas membuka peluang seseorang menumbuhkan karakternya. Sifat baik menyerupai melestarikan sungai, gunung, hutan, dan membela negara akan secara alami bertumbuh. Kegiatan bersama di alam bebas menyerupai mengarungi riam atau mendaki gunung akan membuka peluang cukup umur merawat sifat menghargai lian, gigih, percaya diri, kebersaudaraan, dan sekaligus berlatih menuntaskan duduk perkara secara kolaboratif.

Dari sistematika runutan pemikiran di atas serta dengan memahami situasi keindonesiaan hari ini, ketersediaan pendidikan yang baik sudah sangat mendesak, tetapi sekaligus juga tak tidak mungkin dan tak begitu pelik mewujudkannya.
  • Oleh : Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB; Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
  • Versi cetak artikel ini terbit di harian KOMPAS edisi 18 Oktober 2017 dengan judul "Seputar Karakter Pendidikan"

Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Mengenal salah satu matematikawan Indonesia;

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Iwan Pranoto: Seputar Abjad Pendidikan"

Post a Comment