Perbedaan antara yang tidak mungkin dan yang tidak tidak mungkin terkletak pada tekad seseorang. -Tommy Lasorda-
Pada hari saya bertemu Hani irmawati, ia ialah gadis berusia tujuh belas tahun yang pemalu, berdiri sendirian di daerah parkir sekolah internasional di Indonesia, tempatku mengajar bahasa inggris. Sekolah itu mahal dan tak mendapatkan murid orang Indonesia. Ia menghampiriku dan bertanya apakah saya sanggup membantunya memperbaiki kemampuan bahasa inggrisnya. Aku tahu bahwa diharapkan keberanian besar untuk gadis Indonesia yang berbaju lusuh ini menghampiriku dan meminta bantuan.
"Mengapa kamu ingin meningkatkan kemampuan bahasa inggrismu?" saya bertanya padanya, benar-benar menduga ia akan menyampaikan ingin mencari kerja di hotel setempat. "Aku ingin kuliah di Amerika", katanya dengan percaya diri. Impiannya yang idealis membuatku ingin menangis. saya oke mengajarinya seusai sekolah setiap hari atas dasar sukarela.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangkit setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMUnya. Selama satu jam perjalanan itu ia berguru untuk pelajaran biasa dan menyiapkan pelajaran bahasa inggris yang kuberikan sehari sebelumnya. Pada jam empat sore, ia tiba di kelasku,lelah namun siap belajar. Semakin hari ketika hani berjuang dengan bahasa inggris tingkat uniersitas,aku semakin menyukainya. Ia berguru lebih ulet daripada kebanyaka siswa ekspatriatku yang kaya-kaya.
Hani tinggal dirumah berkamar dua dengan kedua orang tuanya dan dua orang saudaranya. Ayahnya ialah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Saat saya tiba ke lingkungan mereka untuk bertemu, saya gres tahu bahwa pendapatan tahunan mereka bersama ialah $750. Itu tidak cukup untuk membayar biaya hidup sebulan di universitas di Amerika. Semangat hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tapi saya makin patah semangat.
Suatu pagi di bulan desember 1998, saya mendapatkan pengumuman kesempatan beasiswa untuk universitas besar di Amerika. Dengan bersemangat saya merobek amplopnya dan mempelajari syaratnya, tapi tak usang kemudian akupun menjatuhkan formulirnya dengan putus asa. Tak mungkin, kupikir, Hani memenuhi syarat ini. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, alasannya ialah disekolahnya tak ada hal-hal menyerupai itu. Ia tak mempunyai pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan alasannya ialah memang tak ada tes semacam itu. Namun, ia mempunyai tekad yang lebih berpengaruh dari murid manapun yang pernah kulihat.
Waktu Hani masuk ke kelas hari itu, saya menseritakan wacana beasiswa itu.Aku juga menyampaikan padanya bahwa kurasa tak mungkin ia biasa mendaftar. Aku mendorongnya agar, dalam kata-kataku sendiri,"realistis" wacana masa depannya dan tidak terlalu gigig berencana ke Amerika. Bahkan sesudah ceramahku yang pesimis,Hani tetap teguh. "Maukah anda mengirim namaku?" Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik dengan kebenaran yang menyakitkan wacana kehidupan akademisnya, tapi juga pujianku wacana keberanian dan kegigihannya. Kurekatkan amplop itu dan menyampaikan pada hain bahwa peluangnya untuk diterima itu tipis, mungkin nihil.
Pada mingu-minggu berikutnya, HAni meningkatkan pelajarannya dalam bahasa inggris, dan saya mengatur semoga ia mengambil TOEFL di jakarta. Seluruh tes komputerisasi akan menjadi tantangan besar bagi seseorang yang tak pernah menyentuh komputer. Selama dua ahad kami mempelajari bagian-bagian komputer dan cara kerjanya. Lalu sempurna sebelum hani ke jakarta, ia mendapatkan surat dari asosiasi beasisiwa itu. Inilah ketika yang kejam, Penolakan , pikirku. Mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, saya membuka surat dan mulai memmbacanya,
Ia diterima.
Aku, yang kaget, meloncat- loncat sekeliling ruangan dengan gembira. Hani berdiri, tersenyum samar, tapi hampir niscaya bingun melihat keterjutanku. Aku risikonya menyadari bahwa akulah yang gres memahami sesuatu yang telah diketahui hani semenjak awal:"Bukan kecerdasan saja yang membuatmu sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komiment untuk bekerja keras dan percaya akan dirimu sendiri" -Jamie Winship-
Dikutip dari buku : Chicken Soup for College Soul ( Jack Candfield, Mark victor hansen,Kimbely Kiirberger,Dan Clark )
Semoga menambah semangat untuk adik2ku yang akan melangkahkan kaki menuju universitas.
Pada hari saya bertemu Hani irmawati, ia ialah gadis berusia tujuh belas tahun yang pemalu, berdiri sendirian di daerah parkir sekolah internasional di Indonesia, tempatku mengajar bahasa inggris. Sekolah itu mahal dan tak mendapatkan murid orang Indonesia. Ia menghampiriku dan bertanya apakah saya sanggup membantunya memperbaiki kemampuan bahasa inggrisnya. Aku tahu bahwa diharapkan keberanian besar untuk gadis Indonesia yang berbaju lusuh ini menghampiriku dan meminta bantuan.
"Mengapa kamu ingin meningkatkan kemampuan bahasa inggrismu?" saya bertanya padanya, benar-benar menduga ia akan menyampaikan ingin mencari kerja di hotel setempat. "Aku ingin kuliah di Amerika", katanya dengan percaya diri. Impiannya yang idealis membuatku ingin menangis. saya oke mengajarinya seusai sekolah setiap hari atas dasar sukarela.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangkit setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMUnya. Selama satu jam perjalanan itu ia berguru untuk pelajaran biasa dan menyiapkan pelajaran bahasa inggris yang kuberikan sehari sebelumnya. Pada jam empat sore, ia tiba di kelasku,lelah namun siap belajar. Semakin hari ketika hani berjuang dengan bahasa inggris tingkat uniersitas,aku semakin menyukainya. Ia berguru lebih ulet daripada kebanyaka siswa ekspatriatku yang kaya-kaya.
Hani tinggal dirumah berkamar dua dengan kedua orang tuanya dan dua orang saudaranya. Ayahnya ialah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Saat saya tiba ke lingkungan mereka untuk bertemu, saya gres tahu bahwa pendapatan tahunan mereka bersama ialah $750. Itu tidak cukup untuk membayar biaya hidup sebulan di universitas di Amerika. Semangat hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tapi saya makin patah semangat.
Suatu pagi di bulan desember 1998, saya mendapatkan pengumuman kesempatan beasiswa untuk universitas besar di Amerika. Dengan bersemangat saya merobek amplopnya dan mempelajari syaratnya, tapi tak usang kemudian akupun menjatuhkan formulirnya dengan putus asa. Tak mungkin, kupikir, Hani memenuhi syarat ini. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, alasannya ialah disekolahnya tak ada hal-hal menyerupai itu. Ia tak mempunyai pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan alasannya ialah memang tak ada tes semacam itu. Namun, ia mempunyai tekad yang lebih berpengaruh dari murid manapun yang pernah kulihat.
Waktu Hani masuk ke kelas hari itu, saya menseritakan wacana beasiswa itu.Aku juga menyampaikan padanya bahwa kurasa tak mungkin ia biasa mendaftar. Aku mendorongnya agar, dalam kata-kataku sendiri,"realistis" wacana masa depannya dan tidak terlalu gigig berencana ke Amerika. Bahkan sesudah ceramahku yang pesimis,Hani tetap teguh. "Maukah anda mengirim namaku?" Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik dengan kebenaran yang menyakitkan wacana kehidupan akademisnya, tapi juga pujianku wacana keberanian dan kegigihannya. Kurekatkan amplop itu dan menyampaikan pada hain bahwa peluangnya untuk diterima itu tipis, mungkin nihil.
Pada mingu-minggu berikutnya, HAni meningkatkan pelajarannya dalam bahasa inggris, dan saya mengatur semoga ia mengambil TOEFL di jakarta. Seluruh tes komputerisasi akan menjadi tantangan besar bagi seseorang yang tak pernah menyentuh komputer. Selama dua ahad kami mempelajari bagian-bagian komputer dan cara kerjanya. Lalu sempurna sebelum hani ke jakarta, ia mendapatkan surat dari asosiasi beasisiwa itu. Inilah ketika yang kejam, Penolakan , pikirku. Mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, saya membuka surat dan mulai memmbacanya,
Ia diterima.
Aku, yang kaget, meloncat- loncat sekeliling ruangan dengan gembira. Hani berdiri, tersenyum samar, tapi hampir niscaya bingun melihat keterjutanku. Aku risikonya menyadari bahwa akulah yang gres memahami sesuatu yang telah diketahui hani semenjak awal:"Bukan kecerdasan saja yang membuatmu sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komiment untuk bekerja keras dan percaya akan dirimu sendiri" -Jamie Winship-
Dikutip dari buku : Chicken Soup for College Soul ( Jack Candfield, Mark victor hansen,Kimbely Kiirberger,Dan Clark )
Semoga menambah semangat untuk adik2ku yang akan melangkahkan kaki menuju universitas.
0 Response to "Hani"
Post a Comment